Syair Tukang Bakso - Emha Ainun Nadjib
SEBUAH pengajian yang
amat khusyu' di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak
terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan
sendoknya.
Pak Ustad sedang
menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang
berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil
albab yang pikirannya sedang bekerja keras.
"Apakah ia
berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu
seseorang.
"Bukan sekali dua
kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!"
"Jangan marah, ikhwan,"
seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan
..."
"Ia tak punya
imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi.
"Jangan-jangan
sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara
keras.
Tapi sebelum takmir
masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: "Khauf,
rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf
ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu
Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil
adanya."
"Tak usah
menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru
militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda
semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah
Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh
pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang
bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau
pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali
menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau
tidak?"
"Ingatlah bahwa
tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda
merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso
memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda
semua."
Suasana menjadi senyap.
Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati
para peserta pengajian.
"Kita memerlukan
baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan,
"karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut
terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di
sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur
isri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya
allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup
menomorsatukan Allah!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar